Minggu, 28 Desember 2008

Nasib Nelayan Rembang Ketika Angin Musim Baratan Tiba


Andalkan Dana Paceklik, Rela Tak Melaut daripada Menanggung Rugi

Angin musim baratan sering menjadi momok bagi nelayan Rembang. Gelombang tinggi dan angin kencang, memaksa para nelayan tak melaut. Padahal, dapur keluarga harus tetap mengepul. Dana paceklik nelayan pun akhirnya menjadi satu-satunya pemasukan bagi keluarga nelayan.

Sekelompok nelayan sedang berdiskusi serius di sebuah pojokan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tasik Agung II Rembang. Kecemasan nampak jelas di setiap raut wajah para nelayan itu. Mereka bingung, memutuskan untuk pergi melaut atau tidak. Seminggu ini, mereka tertahan di pelabuhan karena ombak di laut lepas sedang mengganas.

Jais, sang nahkoda kapal meminta pendapat satu demi satu awak buah kapalnya (ABK). Dua tiga orang setuju untuk berangkat miyang (melaut,red). Namun sebagian yang lain mengaku enggan, takut gelombang laut yang setiap saat dapat menghempaskan perahu mini poirsinenya.
Diputuskan, mereka tak jadi melaut hari itu. Kapal MP Karya Baru tetap tertambat di Pelabuhan Tasik Agung II. Sedangkan awak buah kapal yang lain, pulang ke Kecamatan Kragan, 30 km di sebelah timur Kabupaten Rembang. Sementara Jais, tetap tinggal menunggui kapal.
Nasib para nelayan Rembang memang sedang terombang-ambing akhir-akhir ini. Selain harga ikan yang terus anjlok, mereka juga harus berhadapan dengan gelombang tinggi musim baratan. Dikatakan, Gelombang di jarak 80 mil laut dari pelabuhan sengat tinggi.
Jais mengatakan, gelombang itu mencapai ketinggian dua hingga dua setengah meter. Gelombang setinggi itu katanya, bisa saja menghempaskan kapal dalam hitungan detik. Daripada celaka, Jais dan ratusan nelayan di Kabupaten Rembang memilih bolos melaut.
Jika ada nelayan yang nekat melaut, itupun tak lebih dari jarak 30 mil dari bibir pantai. “Pada Jarak itu,kapal nelayan masih aman,” terang bapak dua anak ini. Sayangnya, hasil tangkapan pada jarak itu tak banyak. Jika dihitung-hitung, pendapatan bersih tak lebih dari Rp 1 juta.
Jumlah itu masih harus dibagi rata kepada seluruh ABK. Sembari mengernyitkan dahi, Jais mengatakan jumlah itu tak sebanding dengan lamanya miyang. “Empat hingga lima hari miyang hanya dapat puluhan ribu, jelas tak sebanding,” tuturnya.
Bahkan tak jarang nelayan harus merugi. Jais menjelaskan, untuk sekali melaut selama empat hingga lima hari, setidaknya dibutuhkan modal hingga Rp 4 juta. Dituturkan, Rp 3 juta ia gunakan untuk membeli solar. Untuk membeli es balok, setiap kapal harus menyediakan dana sekitar Rp 600 ribu. “Sedangkan untuk keperluan logistik, setidaknya butuh Rp 600 ribu hingga Rp 1 juta,” jelasnya.
Jika hasil lelang tak mampu menutup modal yang dikeluarkan, tentu mereka merugi. Pertimbangan itulah yang dipikirkan Jais dan ABK yang lain. Untungnya, mereka masih punya dana paceklik yang diberikan koperasi.
Dana paceklik itu memang tak banyak. Tapi menurut Jais, dana peceklik itu dapat mengurangi beban para nelayan yang tetap harus menjaga dapur keluarganya tetap mengepul.
Jais mengatakan, dana paceklik itu diperoleh dari setiap potongan tiga persen dari hasil lelang. Dijelaskan, setiap kapal merapat dan membongkar hasil tangkapan, hasil penjualan akan dipotong tiga persen oleh KUD nelayan.
Dana itu nantinya akan terkumpul dan dicairkan saat mereka tak bisa melaut seperti sekarang ini. “Dana paceklik diberikan dalam bentuk beras dan sedikit uang,” terang Jais.
Setiap kapal, biasanya mempeloleh sedikitnya satu kwintal beras dan uang tunai sebesar Rp 1 juta. Beras dan uang itu, dibagikan kepada seluruh ABK. Besaran dana paceklik didasarkan pada besarnya tangkapan ikan selama bongkaran.
“Semakin banyak hasil tangkapan setiap bongkaran, dana paceklik semakin banyak juga,” terangnya. Dana paceklik ibarat tabungan bagi nelayan. setiap musim paceklik atau angin baratan tiba, “tabungan” itu bisa dicairkan. Meski tak banyak, Jais mengaku terbantu dengan tabunganya itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar