Rabu, 31 Desember 2008

17 PSK Terjaring Razia, Puluhan Lainnya Lari Tunggang Langgang

Para PSK yang terjaring turun dari truk polisi (atas). Tiga orang PSK bersembunyi di bawah tempat tidur saat dirazia. Polisi memaksa mereka keluar dari tempat persembunyiannya (bawah).

GROBOGAN-Puluhan pekerja seks komersil (PSK) di kawasan Koplak Dokar Pasar Purwodadi lari tunggang langgang melihat aparat gabungan dari Satpol PP dan Kepolisian yang melakukan razia di kawasan itu Selasa (30/12) malam. Aparat langsung melakukan pengejaran hingga ke kamar-kamar tempat “praktik” mereka.

Bahkan, tiga orang PSK ketahuan bersembunyi di bawah tempat tidur. Aparat pun langsung menyuruh mereka keluar. Nahasnya, sasu diantara mereka yang berbadan gempal terjepit dan sulit keluar. Untuk mengeluarkan PSK itu, aparat harus menarik dan mengangkat dipan tempat tidurnya.

Razia yang berlangsung pada pukul 22.30 WIB itu berhasil mengamankan 17 orang PSK. Dua orang diantaranya adalah lelaki yang diduga menggunakan jasa mereka. Sempat ada perlawanan dari beberapa PSK. Bahkan, seorang PSK memaksa membawa anaknya ikut serta ketika dibawa aparat.

Menurut keterangan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Yudi Sudarmunanto, pihaknya melakukan razia menyusul laporan masyarakat yang resah terhadap keberadaan mereka. “Warga meminta mereka ditertibkan,” tegasnya.

Para PSK kemudian dibawa ke Kantor Dinas Sosial untuk mendapatkam pembinaan. Rencananya, mereka akan dikirim ke Panti Persinggahan WTS di Solo. Dikatakan, mereka nantinya akan diberikan pelatihan keterampilan selama enam bulan. “Diharapkan, setelah keluar dari sana mereka memiliki keterampilan untuk usaha,” terangnya.

Sebelumnya, Aparat gabungan juga melakukan razia di kawasam Kafe Gedek Desa Bandungharjo Kecamatan Toroh. Sayangnya, di tempat ini, aparat tidak menemukan minuman keras atau PSK yang biasanya mangkal di tempat itu. Beberapa kafe di kawasan itu juga telah tutup saat razia itu digelar.

Diduga, pelaksanaan razia itu telah diketahui pemilik kafe. Sehingga mereka menutup usahanya lebih dini. Meski demikian, Kasat Samapta Polres Grobogan AKP Ismudiyati menegaskan, pihaknya akan terus memantau keberadaan mereka. “Jika diketahui melanggar prosedur, akan kami tindak,” tegasnya.

Upaya Suradi, Bertahan Di Tengah Kelangkaan Pupuk



Olah Kotoran Sapi dan Batu Gamping Jadi Pupuk Alternatif

Pupuk bersubsidi semakin susah dicari. Jika pun dapat, petani harus menebus dengan harga tinggi. Jika tak ada pupuk, bisa dipastikan tanaman padinya akan kurus kering. Banyak petani kemudian beralih ke pupuk organik. Suradi misalnya, petani asal Desa Nganguk Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang membuat pupuk dari campuran kotoran sapi dan batu gamping. Berikut kisahnya seperti yang dikisahkan kepada Radar Kudus.

Tak ada rotan akar pun jadi. Begitu pupuk susah dicari, Suradi warga Desa Nganguk Kecamatan Kaliori mencari laternatif lain untuk membuat pupuk kandang sendiri. Uniknya pupuk kandang ala Suradi ini dibuat dari campuran batu gamping dan kotoran ternak (sapi,red).


Bapak empat anak ini menjelaskan, cara membuat pupuk kandang cukup mudah. Yang perlu disiapkan pertama kali adalah sebuah lubang berdiameter empat hingga lima meter dengan kedalaman hingga empat meter. Ini tergantung seberapa banyak pupuk yang akan dibuat.

Setelah lubang rampung dibuat, dasar lubang ditutup dengan menggunakan alas plastik. Setelah siap, batu gamping ditaruh di atas permukaan plastik yang telah digelar. Di atas tumpukan gamping itulah, Suradi kemudian menaruh kotoran sapi yang dikumpulkan dari tiga sapinya.

Biasanya, Suradi menggunakan batu gamping dan kotoran sapi dengan perbandingan satu banding tiga. Artinya, jika batu gamping yang dibuat sebanyak satu kwintal, maka kotoran sapi yang diperlukan sebanyak tiga kwintal.

Setelah semua langkah dilakukan, tinggal menunggu proses penguraian kotoran sapi dan batu gamping secara alami. “Biarkan saja, tidak usah ditutupi dengan tutup plastik atau sejenisnya,” tegasnya.

Proses penguraian kedua jenis bahan itu membutuhkan waktu cukup lama. Setidaknya dibutuhkan waktu hingga tiga bulan. Menurut mantan pejuang kemerdekaan ini, waktu yang paling ideal digunakan untuk membuat pupuk kandang seperti ini adalah pada awal musim hujan.

Diharapakan, air hujan yang membasahi lubang pemrosesan tadi dapat mempercepat pembusukan kotoran ternak. Sehingga, proses penguraian batu gamping dan kotoran sapi dapat berjalan sempurna.

Suradi mengatakan telah membuat pupuk kandang semacam ini sejak empat tahun yang lalu. “Awalnya hanya coba-coba saja,” akunya. Namun, setelah mengetahui hasil panen tanaman padinya cukup bagus, Suradi akhirnya terus mengembangkan pembuatan pupuk kandangnya.

Ketika Radar Kudus berkunjung ke rumahnya, ia berkenan menunjukan lubang di belakang rumahnya yang ia gunakan untuk membuat pupuk kandangnya itu. Dikatakan, beberapa waktu lalu, ia telah “memanen” pupuk yang dibuat di sebuah lubang tak jauh dari tempat itu.

Dikatakan, Dari satu lubang itu, bias dihasilkan 70 hingga 80 sak pupuk. “Sekarang sudah habis, banyak yang diminta oleh teman-teman petani,” katanya bangga. Sedangkan dilubang yang dia tunjukan itu, rencananya baru dua bulan mendatang bisa diambil hasilnya.

Hingga sekarang, ia berangsur-angsur telah meninggalkan pupuk kimia. Ia mengatakan, jika menggunakan pupuk kimia tanah pertanian pada musim kemarau akan retak-retak. Dikatakan, tanah menjadi jelek dan panas. Namun setelah menggunakan pupuk kandangnya, tanah pertaniannya terus membaik. “Jika musim kemarau masih bisa ditanami palawija,” terangnya.

Pupuk kandang buatannya itu telah ditiru oleh banyak petani di daerah Blora dan Pati. Bahkan baru-baru ini, petani asal Tuban juga datang ke rumahnya untuk belajar membuat pupuk kandang semacam itu. Ia pun dengans enang hati mengajari mereka cara membuat pupuk kandang hasil kreasinya itu.

Ia mengatakan, banyak petani yang mengaku puas ketika menggunakan pupuk kandangnya itu. Dikatakan, tanaman padi menjadi lebih hijau dan berakar kuat. Pengguanan air pun dapat dihemat.

Meski belum teruji secara klinis, namun ia mengatakan pupuknya itu tak kalah jika disbanding dengan pupuk buatan pabrik. “Silakan dicoba, dijamin hasilnya kan lebih baik,” Kata Suradi.

Minggu, 28 Desember 2008

Menjual Berita Menjaring Pendengar


Radio identik dengan musik sebagai menu hiburan utama. Mulai musik pop yang digandrungi kawula muda, hingga dangdut yang mempunyai peminat sendiri. Tapi siapa sangka, justru dengan mengemas program berita secara serius, sebuah stasiun radio mampu menjaring lebih banyak pendengar dan siarannya selalu dinantikan.

Melihat karakteristik pendengar di Kabupaten Rembang yang haus akan informasi yang bersifat kelokalan, membuat dua pengelola stasiun besar di Rembang Radio Rembang Bangkit (R2B) dan Radio Citra Bahari (CB) mengemas program berita secara serius. “Terlebih masyarakat yang tinggal di pelosok pedesaan jarang membaca koran,” kata OnnyAbi Wahono, pengelola R2B.

Porsi pemberitaan daerah Rembang dinilai masih kurang diulas oleh koran maupun televisi. Ini ditangkap sebagai peluang oleh pengelola radio di Rembang. “Warga Rembang selalu ingin tahu apa yang terjadi di daerahnya,” ungkap pria berkacamata ini.

Kondisi inilah yang dimanfaatkan Onny untuk mengemas program berita. “Kami ingin warga Rembang lebih melek informasi,” harapnya. Tak tanggung-tanggung, ia mengemas tiga program berita yang disiarkan dalam sehari. Satu diantaranya disiarkan dalam Bahasa Jawa Rembangan.

Respon pendengar pun semakin bagus. Bahkan menurut Onny, ada sebuah sekolah menengah tingkat atas di Rembang yang mewajibkan siswanya untuk mendengarkan Wedangan (Program berita berbahasa Jawa Rembangan,red). “Agar anak-anak juga tak lupa dengan bahasa daerahnya,” kata salah seorang guru kepada Onny.

Untuk mengemas satu program berita, pihaknya menyajikan tiga hingga empat berita seputar Kota Rembang setiap kali tayang. Selain Wedangan yang disiarkan setiap Pukul 16.00 WIB, R2B juga mempunyai program berita Ada Apa Dengan Rembang yang disiarkan setiap Pukul 13.00 WIB. “Sedangkan program berita kopi pagi disiarkan setiap Pukul 15.30 WIB,”. tutur pria berkumis ini.

“Wedangan menjadi salah satu program berita uggulan,” katanya bangga. Ini dikarenakan belum ada satu stasiun radio pun di Rembang yang mengemas sebuah berita dalam Bahasa Jawa Rembangan.

Agar nama Rembang lebih dikenal di kancah nasional, pihaknya juga mengirimkan berita seputar Rembang ke sebuah radio berita di Jakarta. “Kebetulan kami memiliki jaringan di tingkat nasional,” katanya. Dengan demikian, berita yang ia kirimkan juga akan direlay ke hampir 600 stasion radio di Indonesia.

Pemutaran program berita ini juga berdampak pada pemasukan iklan. Tanpa menyebut berapa jumlah iklan yang masuk, Onny menuturkan jika program berita cukup digemari pemasang iklan. “Biasanya klien memasang iklan berdasarkan hasil survey pendengar yang mereka lakukan sendiri,” katanya.

Hal serupa juga diungkapkan Pemimpin Redaksi Radio CB Affandi. Menurutnya, sebuah stasiun radio harus memilki sesuatu yang khas agar tetap diminati, termasuk program berita. “Kebetulan CB adalah radio pemkab, jadi kita bisa memberikan informasi tentang kebijakan pemkab,” katanya.

Di stasiun Radio yang dikelolanya itu, ia juga menyajikan berita dalam bentuk kilasan warta yang disiarkan setiap jam. Selain itu, Eadio CB juga memiliki program berita yang dikemas khusus pada jam-jam yang telah ditentukan. “Kebetulan radio kita juga merelay berita dari stasiun radio BBC setiap pagi,” tuturnya.

Menurutnya, jika program berita digarap secara serius, tentu akan mendatangkan keuntungan bagi sebuah stasiun Radio. “Masalahnya isu-isu daerah kadang terlewatkan oleh media lainnya,” terangnya. Inilah yang belum sepebuhnya digarap oleh banyak stasiun radio di rembang maupun di daerah lainnya.

Nasib Nelayan Rembang Ketika Angin Musim Baratan Tiba


Andalkan Dana Paceklik, Rela Tak Melaut daripada Menanggung Rugi

Angin musim baratan sering menjadi momok bagi nelayan Rembang. Gelombang tinggi dan angin kencang, memaksa para nelayan tak melaut. Padahal, dapur keluarga harus tetap mengepul. Dana paceklik nelayan pun akhirnya menjadi satu-satunya pemasukan bagi keluarga nelayan.

Sekelompok nelayan sedang berdiskusi serius di sebuah pojokan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tasik Agung II Rembang. Kecemasan nampak jelas di setiap raut wajah para nelayan itu. Mereka bingung, memutuskan untuk pergi melaut atau tidak. Seminggu ini, mereka tertahan di pelabuhan karena ombak di laut lepas sedang mengganas.

Jais, sang nahkoda kapal meminta pendapat satu demi satu awak buah kapalnya (ABK). Dua tiga orang setuju untuk berangkat miyang (melaut,red). Namun sebagian yang lain mengaku enggan, takut gelombang laut yang setiap saat dapat menghempaskan perahu mini poirsinenya.
Diputuskan, mereka tak jadi melaut hari itu. Kapal MP Karya Baru tetap tertambat di Pelabuhan Tasik Agung II. Sedangkan awak buah kapal yang lain, pulang ke Kecamatan Kragan, 30 km di sebelah timur Kabupaten Rembang. Sementara Jais, tetap tinggal menunggui kapal.
Nasib para nelayan Rembang memang sedang terombang-ambing akhir-akhir ini. Selain harga ikan yang terus anjlok, mereka juga harus berhadapan dengan gelombang tinggi musim baratan. Dikatakan, Gelombang di jarak 80 mil laut dari pelabuhan sengat tinggi.
Jais mengatakan, gelombang itu mencapai ketinggian dua hingga dua setengah meter. Gelombang setinggi itu katanya, bisa saja menghempaskan kapal dalam hitungan detik. Daripada celaka, Jais dan ratusan nelayan di Kabupaten Rembang memilih bolos melaut.
Jika ada nelayan yang nekat melaut, itupun tak lebih dari jarak 30 mil dari bibir pantai. “Pada Jarak itu,kapal nelayan masih aman,” terang bapak dua anak ini. Sayangnya, hasil tangkapan pada jarak itu tak banyak. Jika dihitung-hitung, pendapatan bersih tak lebih dari Rp 1 juta.
Jumlah itu masih harus dibagi rata kepada seluruh ABK. Sembari mengernyitkan dahi, Jais mengatakan jumlah itu tak sebanding dengan lamanya miyang. “Empat hingga lima hari miyang hanya dapat puluhan ribu, jelas tak sebanding,” tuturnya.
Bahkan tak jarang nelayan harus merugi. Jais menjelaskan, untuk sekali melaut selama empat hingga lima hari, setidaknya dibutuhkan modal hingga Rp 4 juta. Dituturkan, Rp 3 juta ia gunakan untuk membeli solar. Untuk membeli es balok, setiap kapal harus menyediakan dana sekitar Rp 600 ribu. “Sedangkan untuk keperluan logistik, setidaknya butuh Rp 600 ribu hingga Rp 1 juta,” jelasnya.
Jika hasil lelang tak mampu menutup modal yang dikeluarkan, tentu mereka merugi. Pertimbangan itulah yang dipikirkan Jais dan ABK yang lain. Untungnya, mereka masih punya dana paceklik yang diberikan koperasi.
Dana paceklik itu memang tak banyak. Tapi menurut Jais, dana peceklik itu dapat mengurangi beban para nelayan yang tetap harus menjaga dapur keluarganya tetap mengepul.
Jais mengatakan, dana paceklik itu diperoleh dari setiap potongan tiga persen dari hasil lelang. Dijelaskan, setiap kapal merapat dan membongkar hasil tangkapan, hasil penjualan akan dipotong tiga persen oleh KUD nelayan.
Dana itu nantinya akan terkumpul dan dicairkan saat mereka tak bisa melaut seperti sekarang ini. “Dana paceklik diberikan dalam bentuk beras dan sedikit uang,” terang Jais.
Setiap kapal, biasanya mempeloleh sedikitnya satu kwintal beras dan uang tunai sebesar Rp 1 juta. Beras dan uang itu, dibagikan kepada seluruh ABK. Besaran dana paceklik didasarkan pada besarnya tangkapan ikan selama bongkaran.
“Semakin banyak hasil tangkapan setiap bongkaran, dana paceklik semakin banyak juga,” terangnya. Dana paceklik ibarat tabungan bagi nelayan. setiap musim paceklik atau angin baratan tiba, “tabungan” itu bisa dicairkan. Meski tak banyak, Jais mengaku terbantu dengan tabunganya itu.

Ipung Mashudi, 15 Tahun Menjadi Penyiar Radio



Ingin Tetap Melestarikan Tradisi Budaya Jawa

Program gending tayub mendapat tempat khusus di hati pendengar Radio di Rembang dan daerah Pantura lainnya. Salah satu penyiar program acara tayub bertajuk Langen Bahari di Radio Citra Bahari (CB) Rembang, Ipung Mashudi, adalah sedikit diantara penyiar kawakan yang mampu menyuguhkan program ini secara apik. Berikut kisah penyiar yang sudah 15 tahun malang-melintang menjadi penyiar radio, seperti yang dituturkan kepada Radar Kudus.

Tak seperti program acara lainnya, program Gending Tayub Langen Bahari (LB) disiarkan dalam bahasa Jawa Kromo Inggil. Karena membawakan program acara seperti ini memiliki tingkat kesulitan tinggi, banyak penyiar yang kemudian angkat tangan ketika ditugasi membawakan program serupa.
Namun tidak bagi seorang Ipung Mashudi. Istri dari H Mashudi ini begitu antusias ketika ditugasi untuk mengasuh program ini. Menurutnya, membawakan program radio berbahasa Jawa cukup menantang. Terlebih, melalui program siaran itu, ibu berputra dua ini bisa terus melestarikan Bahawa Jawa.
Seperti hari-hari sebelumnya, pukul 07.00 WIB, Mbak Ipung, begitu ia akrab disapa, sudah tiba di studio Radio CB. Meskipun acara LB baru dimulai pukul 09.00 WIB, namun. Ia selalu datang pagi di studio. Banyak kesibukan menantinya, termasuk mempersiapkan program berita, yang disiarkan sebelum program LB.
Ketika jarum jam tepat menunjuk angka sembilan, itu berarti LB harus mengudara. Ia pun bergegas masuk studio, menyiapkan daftar lagu gending tayub yang sedang populer akhir-akhir ini.
Satu dua telpon masuk ke studio. Dengan berbahasa Jawa kromo Inggil, ia selalu melayani setiap telpon yang masuk. Pernah suatu kali, ada seorang penelpon yang mengancam, jika tidak diputarkan gending kesukaannya, penelpon itu siap “menggruduk” studio di bilangan alun-alun rembang itu. “Ampun purik ngoten tho mbak (jangan marah gitu mbak,red),” rajuknya kepada si penelpon.
Begitulah, setiap hari ada saja penelpon yang minta diputarkan gending ini dan itu. Ia pun hafal akan perilaku penggemarnya. Bahkan, ada salah seorang penggemar dari Semarang yang menelpon ke studio, hanya untuk mendengarkan suara Mbak Ipung. “Ha..ha.. Padahal siaran LB tak mampu di tangkap di Semarang,” katanya sembari tertawa kecil.
Usut punya usut bapak penelpon tadi sering mendengarkan siaran LB ketika masih berdomisili di Kota Blora. Dituturkannya, saking hafalnya jam siaran LB, begitu ia pindah ke Semarang, bapak tadi tetap saja menelpon ke CB ketika LB diudarakan. “Kalau sudah mendengan suara
Mbak Ipung sudah plong rasanya,” kata Ipung menirukan si penelpon.
Saking populernya nama Ipung Mashadi, banyak juga penelpon yang masuk ke CB untuk menanyakan jati dirinya. Tapi seperti biasa, ia selalu menjawab seperlunya. Bukannya apa-apa, ia jedi pekewuh, takut jika nanti pendengar kecewa ketika sudah bertemu.
Seringkali pendengar mengatakan suara penyiar ini bagus, pasti juga cantik orangnya. “Tapi kemudian banyak yang akhirnya kecewa ketika telah bertemu,” kata perempuan yang masih energik di usia 50an tahun ini.
Menjadi penyiar memang sudah menjadi impiannya sejak usia remaja. Ketika masih duduk di bangku sekolah menengah, ia seringkali mendengarkan siaran Radio Republik Indonesia (RRI). Ia bahkan seringkali berlatih membacakan berita, sembari menirukan para penyiar RRI kala itu.
Salah seorang penyiar RRI yang ia gandrungi adalah Sazli Rais. “Suaranya berat, mantap kalau sedang membawakan program berita,” tutur Ipung. Ia pun bermimpi suatu saat bertemu dengan sang Idola.
Karena ia tinggal di Rembang, jauh sekali dengan studio RRI di Semarang, ia pun tak bisa mewujudkan mimpinya itu. Tak hilang akal, ia kemudian sering menulis surat ke RRI. Bersama seorang temannya, ia kerapkali membeli kertas folio yang kemudian ditulisi surat berisi atensi ke radio itu. “Bangga sekali ketika surat kita dibacakan,” kenangnya bangga.
Kesempatan menjadi seorang penyiar pun akhirnya tiba, Pada tahun 1978, ia ditawari menjadi penyiar di radio CB yang kala itu masih bernama RSPD. Tiga tahun menjadi penyiar, ia harus mundur karena harus mengikuti suami yang mendapat tugas di daerah. Ia pun nurut pada sang suami.
Jauh dari studio bukan berarti putus dengan dunia radio. Kala itu, ia mengaku masih sering mendengarkan program radio. Beruntung, kesempatan kedua itu muncul lagi. Ketika sang suami pindah tugas di Rembang Kota, tawaran menjadi penyiar radio pun datang lagi.
Tanpa berpikir panjang, ia pun mengambil kesempatan itu. Terlebih, sang suami mendukung penuh aktifitasnya itu. Sejak awal tahun 1990 itulah, suara mbak Ipung dengan tawanya yang khas kembali mengudara.
Karena ingin mengukur kemampuannya, ia pernah suatu kali ikut kontes membaca berita yang diadakan oleh RRI Semarang. Tanpa sepengetahuan pihak kantor, ia pun mendaftarkan dirinya pada ajang kompetisi itu.
Dengan modal kemampuan yang tak diragukan lagi, ia pun mampu menyisihkan ratusan kontestan lainnya. Hingga akhirnya menembus babak final, ia akhirnya menjadi juara kedua pada lomba itu. Meski tak menjadi juara satu, ia cukup berbangga. Pasalnya, yang menjadi juara satu dan tiga, adalah para penyiar TVRI yang tentunya sudah berpengalaman.
Tak disangka-sangka, mimpi yang telah ia rajut puluhan tahun lalu menjadi kenyataan. Ketika sedang bersalaman dengan para juri. Ia sontak terkaget ketika bersalaman dengan salah seorang juri. Ia hafal betul suara itu. “Anda pak Sazli Rais yang siaran di RRI itu ya,” tanyanya polos. Laki-laki yang berdiri dihadapannya pun mengiyakan.
Senang bukan kepalang, ia pun sempat melonjak ketika laki-laki yang tepat dihadapannya itu adalah sang idola masa lalunya. Orang-orang disekitar hanya bisa melongo. “Mungkin mereka pikir, lagi ngapain ya perempuan ini,” katanya sambil tertawa.
Jika dihitung sudah 15 tahun lebih ia mengudara. Ia pun mengaku tak pernah merencanakan untuk mundur dari dunia radio. “Lebih banyak sukanya, ketimbang susahnya,” tegasnya. Melalui program berbahasa Jawa LB inilah, ia bertekad untuk terus melestarikan tradisi gending tayub dan Bahasa Jawa. “sedih rasanya jika anak-anak muda sekarang tidak bisa berbahasa Jawa,” kata Ipung.

Foto Poerwadadi Tempo Doeloe

Poejonggo, warga Poerwodadi, 60 tahoen berprofesi sebagai loper koran. Oeniknya, hingga saat ini ia tetap setia dengan sepeda "oento"nya ketika mengantar koran ke setiap pelanggannya.

Simpang lima Poerwodadi tempo doeloe. Dibelakang, toegoe PDAM berdiri tegak di tengah lapangan simpang lima. Saat itoe, sepeda masih menjadi alat transpotasi oetama

Doea warga poerwodadi sedang berisitirahat di sebuah jembatan. Jalanan kala itoe belum beraspal.


Soeasana jalanan masih lengang. Beloem nampak kendaraan sepadat saat ini. Jaloer kereta masih difoengsikan. Terlihat dalam gambar di atas, di sisi kiri masih ada rel kereta api yang masih dalam kondisi bagus. Hinga saat ini, kereta api masih menjadi aternatif bepergian warga Poerwodadi.










Java Tempo Doeloe


Viva Jamed!




GROBOGAN-Janji kedua petinju partai utama Sabuk Emas Bupati (SEB) III Grobogan untuk bertarung habis-habisan sejak ronde pertama terbukti. Pertarungan antara Jamed Jalarante (Semarang) dan Arga Soka (Surabaya) yang bermain dalam kelas welter 66,6 kilogram tadi malam berlangsung seru. Namun, Jamed lebih mendominasi setiap ronde pertarungan.

Sejak Ronde pertama, kedua petinju bermain terbuka. Mereka bergantaian melayangkan pukulan jab maupun upper cut. Pukulan jab keras Arga sempat mendarat di pelipis kanan Jamed. Pelipis kiri Jamed Terlihat lebam memerah.

Tak mau kalah, Jamed terus melesakkan pukulan bertubi-tubi. Ia pun tak memberikan kesempatan kepada Arga untuk mengembangkan permainan. Hasilnya, Pada ronde keempat, jab kanan Jamed mendarat telak di pelipis kiri Arga. Pelipis kiri Arga terlihat lebam.

Memaskui ronde kelima, Arga sempat diperiksa tim medis. Pasalnya, luka lebam di pelipis kanannya membengkak. Tim medis pun akhirnya menyatakan Arga masih layak tanding. Pertandingan kedua petinju pun dilanjutkan kembali.

Hingga ronde keenam, Jamed begitu mendominasi pertarungan. Pukulan petinju rangking empat nasional ini lebih efektif dan telak mendarat di wajah Arga. Parahnya, stamina Arga terlihat menurun. Pukulannya mulai tak efektif. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Jamed untuk terus melakukan serangan.

Melihat lawannya semakin sempoyongan, Jamed pun terus melayangkan pukulan jab dan upper cut nya. Hasilnya pukulan jab kanan Jamed telak mendarat diwajah Arga. Darah pun terlihat mengucur dari hidungnya. Meski demikian, pertarungan terus dilanjutkan.

Memasuki ronde kesembilan, Arga tak bisa lagi melanjutkan pertandingan. Mukanya lebam oleh pukalan Jamed. Hidungnya terlihat terus mengeluarkan darah. Kedua matanya pun terlihat sipit, karena kedua pelipisnya lebam membengkak.

Jamed pun akhirnya dinyatakan sebagai pemenang. Penonton bersorak, terhibur oleh permainan apik kedua petinju. Jamed pun dinyatakan menang KO dan berhak memboyong sabuk emas Bupati Grobogan. Ia pun berpeluang memperbaiki peringkat nasionalnya.

Pertarungan kedua petinju itu mendapat sambutan meriah dari publik Purwodadi. Budi misalnya, warga Kecamatan Grobogan ini menyempatkan datang ke GOR Simpang Lima Purwodadi untuk melihat pertarungan kedua petinju. “Bagus untuk perkembangn tinju di Purwodadi, sering-sering saja diselenggrakan,” tuturnya.

Jumat, 26 Desember 2008

Sanset in Bunton


Pegunungan Muria menawarkan sejuta keindahan. Sanset (Mata hari tenggelam) sangat eksotis dilihat di Sendang Bunton Desa Rahtawu. Di sini, kita juga bisa mencicipi air tiga rasa. Air yang keluar dari bebatuan dan memilki tiga rasa. hampir mirip dengan minuman bersoda.

Kamis, 25 Desember 2008

Selamet Gunarso, 60 Tahun Berjualan Sate Srepeh




Sekolahkan Anak Hingga Perguruan Tinggi, Sedih Tak Ada Yang Mau Meneruskan

Berbeda dari sate ayam lainya, sate buatan Selamet Gunarso ini menggunakan bumbu kacang yang lebih encer. Warna bumbunya yang kemerahan, membuat satenya dinamai sate srepeh. Berikut kisah Selamet berjualan sate srepeh, hingga mampu menyekolahkan kelima anaknya ke perguruan tinggi.

Meski tak begitu luas, warung sate srepeh milik Selamet Gunarso itu selalu penuh pengunjung. Warung yang terletak di Jalan Wahidin no sembilan itu hanya menyediakan tiga bangku panjang untuk pengunjung. Pengunjung yang datang pun harus antri. Jika datang lebih dari Pukul 09.00 WIB, jangan harap anda bisa menikmati lezatnya sate itu.

Warung itu begitu sederhana. Bahkan, tak ada papan nama mencolok di depan warung. Sebagai penanda, Selamet hanya memasang sebuah kain yang tak begitu besar berwarna biru yang sudah mulai lusuh. Di kain itu, ditulis daftar menu masakan warungnya.

Setiap hari, ia membuka warungnya pada pukul 06.00 WIB. Hanya berselang tiga jam, bisa dipastikan semua satenya sudah ludes dibeli pengunjung. Sebagian besar pengunjung berasal dari Rembang. Namun, banyak juga orang dari luar Kabupaten penghasil garam itu yang mampir ke warungnya.

Uniknya, Selamet hanya menyediakan 500 tusuk sate setiap hari. Meski sedang ramai pengunjung, ia tak pernah menambah jumlah itu. Jika ada pengunjung yang datang ketika tusuk terakhir telah disajikan, dengan ramah ia mengatakan permohonan maaf karena dagangannya telah habis. “Tenang, besok kita buka lagi kok mas,” rajuknya dengan tersenyum ramah.

Sebagai pendamping sate srepeh, Selamet menyediakan nasi tahu lengkap dengan kecambah dan bumbu kacang. Kedua menu itu, sate srepeh dan nasi tahu, akan tambah nikmat jika dimakan dengan kerupuk udang yang digoreng dengan pasir.

Kelezatan sate srepeh ala Slamet sendiri telah diakui maestro kuliner nasional Bondan Winarno. “Mak Nyuuuus,” kata Bondan ketika menikmati sate itu beberapa waktu lalu. Selamet pun hanya tersenyum simpul.

Diwarung itu, istri dan satu orang karyawannya bernama Lasmi yang setiap hari melayani pengunjung. Kedua wanita berusia 60-an tahun itu selalu memakai kebaya. Maski demikian, gerakan kedua wanita itu tetap lincah.

Selamet mengaku telah 60 tahun lebih berjualan sate srepeh. Sebelum mangkal di Jalan Wahidin nomor sembilan itu, ia berdagang keliling. Diceritakan, aktifitasnya dimulai tepat Pukul 03.00 WIB. Ditemani istrinya, ia mengiris daging ayam dan menyiapkan bumbu yang lainnya.

Setelah semua siap, istrinyalah yang kemudian berdagang keliling. Dikatakan, istrinya hanya berjualan di Kecamatan Rembang Kota Saja. Itupun daganganya telah ludes sebelum siang hari. Banyak langganannya kala itu berasal dari etnis Tionghoa. “Mereka sangat gemar makan sate srepeh,” tuturnya

Pada tahun 1991, ia ditawari sebuah tempat yang hingga kini dipakainya untuk berjualan sate srepeh. Begitulah, warung sederhana miliknya itu terus dikenal setiap orang yang mampir ke Rembang.

Yang membuat lezat sate srepehnya adalah bumbu yang ia gunakan. Bumbu khas sate srepeh itu ia dapat dari almarhum ibunya. “Bumbunya warisan turun temurun, rahasia mas,” tegasnya.

Soal harga, ia tak pernah seenaknya menaikan harga per porsinya. Satu porsi, berisi sepuluh tusuk sate, dihargai Rp 8.000. Meski harga daging ayam melambung tinggi, ia mengaku tak pernah menaikan harga jual satenya itu.

Dari berjualan sate itu, Selamet akhirnya mampu menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi. “Yang penting anak bisa sekolah, meski di rumah tidak ada perabotan apa-apa,” katanya. Hingga saat ini, kelima anaknya telah mapan dan berkeluarga.

Sayangnya, kelima anaknya tidak ada yang tertarik meneruskan berjualan sate srepeh ini. Ia khawatir jika nantinya tidak ada yang meneruskan, bumbu warisan keluarganya itu akan hilang begitu saja. “Anak-anak saya tidak ada yang mau meneruskan, sibuk dengan pekerjaanya sendiri,” keluhnya.

Pernah seorang mengusulkan kepada selamet untuk mengangkat seorang anak yang khusus untuk diajari masakan khasnya itu. Namun dengan enteng ia menjawab, tidak bisa. Dia mengatakan belum ada keinginan untuk menularkan ilmunya itu ke orang lain. “Kalau ada yang mau resep rahasia ini, silakan siapkan uang yang banyak,” katanya sembari tertawa lebar.

Rabu, 24 Desember 2008

Menjual Arang Hingga Ke Mancanegara

Sering Dicemooh banyak Orang Karena Anggap Briket Kurang Efisien


Ketika minyak tanah mulai susah dicari, banyak orang yang kemudian beraih ke bahan bakar alternatif lainnya. Salah satunya adalah briket arang. Terlebih, bahan bakar padat berwarna hitam ini, konon mampu menghangatkan masakan lebih lama. Berikut liputan yang mengintip proses pembuatan briket arang, yang telah banyak dikenal hingga mancanegara.

Saiful Annas, Rembang

Rumah bercat putih itu penuh dengan ribuan karung berisi arang kayu. Oleh Ruri yustianti, rumah miliknya itu dijadikan gudang penyimpanan hasil produksi kayu arang miliknya. Hampir semua ruangan di rumah itu penuh dengan karung-karung berisi arang, yang sedianya akan diekspor ke Hongkong.

Tak jauh dari rumah itu, berdiri sebuah “pabrik” yang digunakan untuk mengolah arang atau yang lebih dikenal dengan sebutan briket arang. Sudah lebih dari lima tahun, Ruri dan suaminya Aklis Sholikin menggeluti bisnis briket arang ini.

Sedangkan di jalan depan rumahnya di Desa Sendang Agung Kecamatan Kaliori itu, telah menunggu sebuah truk trailer berwarna merah. Tampak lima orang kuli panggul sedang memindahkan karung-karung itu dari rumah ke truk itu. “Setiap minggu kami kirim briket arang ke Hongkong sebanyak 20 ton,” tutur Ruri.

Membuat briket arang memang telah menjadi impiannya sejak menikah dengan Aklis. Pasalnya, bisnis ini menjanjikan banyak keuntungan. Terlebih, bahan baku untuk membuat arang mudah ditemui.

Dikatakannya, briket arang tak hanya dihasilkan dari arang kayu. Dalam waktu dekat ini, ia berencana mengembangkan briket yang berasal dari ampas tebu dan juga sampah. “Bahan baku masih banyak tersedia,” tutur Ruri.

Ia memang tidak membuat arang dari bahan mentah hingga menjadi briket. dituturkannya, butuh banyak waktu untuk mengolah briket dari banhan mentah hingga menjadi briket jadi. Untuk lebih menghemat waktu, ia melakukan kerjasama dengan para pembuat arang di daerah Wonogiri dan Jogjakarta.

Ruri sengaja mendatangkan bahan setengah jadi ke pabrik pengolahan briketnya. di tempat itu, arang-arang tersebut kemudian dicetak dan dikemas dalam kardus. Ini dilakukan semata-mata untuk menghemat waktu. Terlebih dengan cara ini, akan diserap lebih banyak tenaga kerja di daerah yang dimaksud.

Meski usahanya telah maju dan produk briket arangnya telah dikenal di dunia. Ia justru merasa prihatin. Pasalnya, masih sedikit warga lokal yang menggunakan briket sebagai bahan bakar. Pelangganya yang berasal dari dalam negeri hanya terbatas dari Kota Jogjakarta dan Jakarta. “Umumnya mereka adalah para pedagang kaki lima,” katanya.

Bukan berarti ia tak mau mengenalkan produknya untuk pasar lokal. Ia justru sering melakukan sosialisasi tentang apa dan bagaimana penggunaan briket arang. Sayangnya, ia seringkali dicemooh banyak orang. Warga berdalih, selama masih ada minyak tanah buat apa repot-repot memasak pakai briket.

“Sekarang ketika minyak sedang langka, apa ya masih mau bergantung terus pada minyak,” katanya dengan nada tinggi. Ia kemudian gencar melakukan pameran di beberapa kota. Tak jarang ia juga mendemonstrasikan penggunaan briket untuk keperluan memasak.

Dikatakannya, menggunakan briket memang lebih repot ketimbang bahan bakar lainnya. Tapi jika diukur dari anggaran pengeluaran, justru akan lebih murah jika mau menggunakan briket. Terlebih ada bau khas yang keluar selama proses pembakaran arang. Bau inilah yang disukai orang-orang luar negeri. “Baunya eksotis katanya,” terang Ruri.

Dijelaskanya, harga satu kilogram briket di pasaran hanya sekitar Rp 2.500. Dalam satu pak terdapat 12 batang briket. Untuk memasak, kita hanya butuh tiga sampai empat batang briket. Batang-batang briket itu pun masih dapat dipotong sesuai dengan keperluan lama tidaknya proses memasak.

Ia mengatakan, jika dihitung-hitung, pengeluaran keluarga untuk keperluan memasak dapat ditekan jika mau menggunakan briket. “Sayangnya susah mengubah persepsi masyarakat,” keluhnya.

Walau demikian, kondisi demikian dijadikan tantangan bagi Ruri dan suaminya. Dalam waktu dekat ini, ia berencana untuk menambah tenaga pemasaran dan sosialisasi. Ia menginginkan briket akan dijadikan bahan bakar untuk memasak di setiap keluarga.

Bukan berniat hanya untuk memperkaya diri. Lebih dari itu, ia merasa sedih jika briket arang justru dimanfaatkan orang luar negeri. “Kita yangmempunyai kekayaan, tapi justru orang luar yang menikmati,” katanya dengan suara lirih.

Mengharap Tuah Sunan Bonang


Ribuan Peziarah Hadiri Jamasan Pusaka Bende Kyai Becak

Jika di Kudus Kota ada Sumur Tulak yang dipercaya airnya bertuah. Atau di sendang Bunton Desa Rahtawu konon mengeluarkan lenga tala yang dipercaya ampuh sebagai obat mujarab. Lain lagi di Lasem, Air Jamasan Pusaka Bende Kyai Becak, Diyakini mampu mendatangkan keberuntungan tersendiri.

SAIFUL ANNAS-REMBANG

Acara Jamasan (pensucian,red) Pusaka Bende Kyai Becak yang sedianya baru dimulai pukul 09.00 WIB Minggu (8/11) kemarin, telah ramai oleh ribuan peziarah. Bahkan, banyak peziarah yang telah datang pada malam sebelumnya. Mereka menginap di rumah penduduk atau juga di pesarean (makam, red) Sunan Bonang yang terletak tak jauh dari tempat prosesi.

Ketika RT sampai di Desa Bonang Kecamatan Lasem tepat pukul 09.00 WB, koran ini harus berdesakan dengan pengunjung yang telah memadati rumah H Nur wahid, juru kunci pusaka itu. Beruntung, koran ini “dimudahkan” untuk memasuki kompleks rumah berarsitektur joglo itu.

Di dalam dan luar rumah, ribuan peziarah tak sabar menanti pembagian air bekas pensucian pusaka itu. Air yang telah diberi kembang itu ditaruh dalam puluhan gentong besar berwarna biru dan merah. Satu bejana yang terbuat dari kuningan, diletakkan tepat berada di depan juru kunci. Air inilah yang digunakan pertama kali untuk menjamas pusaka itu.

Prosesi pun dimulai. Sebelumnya, warga diwanti-wanti bahwa air ini hanya lantaran (perantara,red) saja. Semua kebaikan, keberuntungan atau nasib baik, semua hanya datang dari Tuhan, demikian yang berulangkali disampaikan Nor wahid. Peziarah pun mengamini nasihat itu.

Banyak kisah tentang awal mula Bende Kyai Becak itu, hingga akhirnya dipercaya memilki tuah tersendiri. Salah satu kisah yang hingga kini dipercayai warga Desa Bonang dan puluhan peziarah lainya dituturkan oleh Abdul Rohim, tokoh masyarakat setempat.

Dikisahkan, Sunan Bonang (Makdum Ibrahim) mengirim surat kepada Raja Brawijaya, Raja Majapahit kala itu yang masih memeluk Hindu, untuk mau memeluk Agama Islam. Selang beberapa waktu kemudian, Raja Brawijaya pun mengutus seorang utusan bernama Becak.

Becak kemudian berangkat menuju kediaman Sunan Bonang. Saat Maghrib tiba, Becak memasuki kawasan kediaman Putra Raden Rahma itu. Seperti kebiasaan umat HinduKala itu, ia pun uro-uro (memuji dengan bernyanyi,red). Warga desa terpesona dengan suara nyanyian puji-pujianya.

Sang Sunan, yang kala itu sedang mengajar mengaji kepada santri-santrinya, merasa terganggu dengan ritual Becak itu. Sontak salah satu santrinya bertanya. “Suara apakah itu kanjeng Sunan?” tanya sang Sunan. Seorang santri yanglain menjawab jika itu suara manusia. Sang Sunan pun menyanggah jawaban santrinya. “Bukan, itu suara bende (semacam gong kecil,red),” katanya.

Syahdan, Becak, utusan dari raja Brawijaya itu berubah menjadi bende. Bende itu kemudian dijadikan alat syiar agama Islam. Sunan Bonan sering menggunakan bende itu untuk memanggil muridnya untuk mengaji.

Begitulah, hingga akhirnya bende dan sebuah bulatan yang terbuat dari batu itu kemudian dikeramatkan dan diyakini memiliki tuah. Warga meyakini, air yang digunakan untuk mencuci itu diyakini mampu memberikan keberuntungan atau sebagai obat.

Seperti Siti Mutmainah misalnya, ia sengaja datang bersama suaminya dari Kabupaten Demak hanya untuk mendapatkan air jamasan itu. Wanita yang telah puluhan tahun menikah dan belum dikaruniai anak ini, berharap dapat segera mempunyai keturunan melalui perantara air tersebut.

Terlepas dari apa tujuan peziarah, Nor Wahid berkali-kali menegaskan jika air itu hanya sebagai perantara saja. Jamasan ini sejatinya digelar untuk mengingatkan generasi muda agar tahu dan terus menjaga sejarah yang telah diwariskan turun temurun itu..

Demi menjaga sejarah dan merawat benda-benda bersejarah itu, Nor Wahid berusaha tetap melestarikan acara jamasan yang digelar tiap 10 Dzulhijah atau bertepatan dengan Idul Qurban. “Ibarat obat, air ini hanya menjadi perantara saja, yang menyembuhkan hanyalah Allah,” tegasnya.


Selasa, 23 Desember 2008

Pupuk Susah Dicari, Suradi Buat Pupuk Kandang sendiri

Apa yang dilakukan Suradi, warga Desa Nganguk Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang patut dicontoh. Tak mau terus tergantung pada pupuk kimia yang semakin langka dipasaran, ia membuat pupuk kandang sendiri. Uniknya pupuk kandang ala Suradi ini dibuat dari campuran batu gamping dan kotoran ternak (sapi,red).

Bapak empat anak ini menjelaskan, cara membuat pupuk kandang cukup mudah. Yang perlu disiapkan pertama kali adalah sebuah lubang berdiameter empat hingga lima meter dengan kedalaman hingga empat meter. “Tergantung seberapa banyak pupuk yang akan dibuat,” terangnya.

Setelah lubang rampung dibuat, dasar lubang ditutup dengan menggunakan alas plastik. Setelah siap, batu gamping ditaruh di atas permukaan plastik yang telah digelar. “Diatas gamping, baru ditumpuki kotoran sapi,” jelas Suradi.

Biasanya, Suradi menggunakan batu gamping dan kotoran sapi dengan perbandingan satu banding tiga. Artinya, jika batu gamping yang dibuat sebanyak satu kwintal, maka kotoran sapi yang diperlukan sebanyak tiga kwintal.

Setelah semua langkah dilakukan, tinggal menunggu proses penguraian kotoran sapi dan batu gamping secara alami. “Biarkan saja, tidak usah ditutupi dengan tutup plastik atau sejenisnya,” tegasnya.

Proses penguraian kedua jenis bahan itu membutuhkan waktu cukup lama. Setidaknya dibutuhkan waktu hingga tiga bulan. Menurut mantan pejuang kemerdekaan ini, waktu yang paling ideal digunakan untuk membuat pupuk kandang seperti ini adalah pada awal musim hujan.

Diharapakan, air hujan yang membasahi lubang pemrosesan tadi dapat mempercepat pembusukan kotoran ternak. Sehingga, proses penguraian batu gamping dan kotoran sapi dapat berjalan sempurna.

Suradi mengatakan telah membuat pupuk kandang semacam ini sejak empat tahun yang lalu. “Awalnya hanya coba-coba saja,” akunya. Namun, setelah mengetahui hasil panen tanaman padinya cukup bagus, Suradi akhirnya terus mengembangkan pembuatan pupuk kandangnya.

Hingga sekarang, ia berangsur-angsur telah meninggalkan pupuk kimia. Ia mengatakan, jika menggunakan pupuk kimia tanah pertanian pada musim kemarau akan retak-retak. Dikatakan, tanah menjadi jelek dan panas. Namun setelah menggunakan pupuk kandangnya, tanah pertaniannya terus membaik. “Jika musim kemarau masih bisa ditanami palawija,” terangnya.

Pupuk Buatannya sendiri telah ditiru oleh banyak petani di daerah Blora dan Pati. Bahkan baru-baru ini, petani asal Tuban juga datang ke rumahnya untuk belajar membuat pupuk kandang semacam itu. “Banyak yang mengatakan puas dengan menggunakan pupuk kandang semacam ini,” terangnya.