Senin, 02 Februari 2009

Dibalik Penutupan Sumur Minyak Warisan Belanda di Dusun Padas (2-habis)

Penambang Kantongi Keputusan Menteri ESDM, Perhutani Tegakkan UU Kehutanan

Proses ijin penambangan minyak secara tradisional di Dusun Padas, Desa Bendoharjo, Kecamatan Gabus, sudah mendapat ijin dari menteri Pertambangan pada tahun 1996. Bahkan, ijin itu dikuatkan dengan peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral pada tahun 2008. Saat penambang mulai beroperasi, Perhutani tiba-tiba menutup lokasi penambangan.


Mimpi warga Dusun Padas Desa Bendoharjo Kecamatan Gabus untuk dapat mengelola sumur minyak tua di desa itu akhirnya terwujud. Melalui proses panjang sejak tahun 1996, akhirnya surat ijin pun keluar. Salah satu aktor yang getol memperjuangkan hak warga itu adalah Ketua KUD Widoro Kandang Gabus Mohammad Suhud.

Kepada saya, pria berkacamata ini menceritakan, pihaknya tetap bersikukuh, jika warga setempat memiliki hak penuh pengelolaan sumur-sumur tua peninggalan Belanda itu.

Melalui Kepmentanben No 1285. K/ 30/M. PE / 1996, pihaknya diijinkan mengelola sumur-sumur kaya emas hitam itu. Kategori sumur tua, menurut keputusan menteri itu, adalah sumur yang dibor sebelum tahun1970. Dijelaskan, hak pengelolaan sumur itu melalui Koperasi Unit Desa bekerjasama dengan pihak Pertamina.

Kepmen itu diperkuat dengan terbitnya Permen ESDM nomor 01 tahun 2008. Disebutkan, dalam pengelolaan sumur-sumur minyak itu, KUD juga dapat melibatkan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

“Jadi kami memiliki hak untuk mengelola sumur-sumur tua itu,” katanya. Mengelola menurut kepmen itu, berarti membersihkan sumur-sumur tua yang ada di areal milik perhutani seluas sekitar lima hektare di dusun itu.

Selain membersihkan, warga juga diijinkan mengangkat dan mengangkut hasil minyak mentah. Mengangkat, jelas suhud, berarti mengambil minyak mentah yang ada di perut bumu melalui sumur-sumur tua itu. “Sedangkan mengangkut berarti, mengirim hasil minyak mentah ke depo pertamina di Cepu,” jelasnya.

Dari hasil pemetaan, dilokasi itu sendiri terdapat 46 titik sumur minyak warisan Belanda. Dari jumlah itu, 22 sumur dinyatakan aktif. “Namun, yang ditambang hanya sembilan sumur saja,” terangnya.

Proses pembersihan sumur minyak sendiri baru bisa dilakukan pada Bulan Januari 2005. Pasalnya, dibutuhkan modal besar untuk melakukan proses produksi minyak. Saat itu, pihaknya berhasil menggandeng salah satu investor dari Jakarta. Sayangnya, selama proses berlangsung, investor itu memutuskan kontrak kerjasama karena alasan permodalan.

Tak patah arang, pihak KUD kemudian mencari investor baru. Pada Januari 2008, pihaknya mendapat kucuran dana investor dari Malaysia. Proses pembersihan sumur-sumur minyak itu pun dilanjutkan kembali.

Pada bulan Maret 2008, proses pengangkatan minyak pun dimulai. Dalam sehari, pihaknya dapat menghasilkan minyak mentah sebanyak 20 barel. Jumlah penambang saat itu mencapai 76 orang. Mereka bekerja dengan sistim shift, bergantian mengelola Sembilan sumur yang dioperasikan.

Dalam sehari, para penambang mendapat hnor bervariasi antar Rp 20 ribu hingga Rp 25 ribu. Hingga ditutup pada bulan Mei 2008, hasil produksi minyak mentah mencapai 109.500 liter. “Hasil produksi rencananya akan ditingkatkan hingga 50 barel perhari,” terangnya.

Belum lagi rencana itu terwujud, tiba-tiba pihak Perhutani KPH Randublatung menutup lokasi itu. Sejak 15 Mei tahun lalu, produksi minyak di sumur tua itu dihentikan. Pihak perhutani bersikukuh pada UU no 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Disebutkan, semua kegiatan di hutan Negara harus seijin menteri kehutanan.

Pihak perhutani juga menuding penambangan sumur minyak itu dapat mengganggu ekosistem hutan. Dikhawatirkan, tanaman milik Negara akan mati akibat tercemar limbah minyak.

Alasan itu disanggah Suhud. Ia mencontohkan, produksi sumur minyak secara tradisonal di KPH Cepu dapat terus berjalan. “Kalau di Cepu saja bisa, mengapa di sini tidak bisa?” katanya dengan nada tinggi. Terkait tudingan pencemaran, pihaknya mempersilahkan peugas KPH Randublatung untuk mengecek langsung kondisi dilapangan.

Akibat penutupan ini, puluhan penambang akhirnya menganggur. Padahal menurut Suhud, mereka harus tetap menghidupi anak istrinya. Jika ini diteruskan, pihaknya khawatir jika warga akhirnya merambah hutan. “Jika ini sampai terjadi, hutan bisa saja semakin rusak akibat penjarahan,” ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar