Senin, 02 Februari 2009

Dibalik Penutupan Sumur Minyak Warisan Belanda di Dusun Padas (1)

Penambang Tradisional Menolak Disebut Perusak Lingkungan

Ditutupnya sumur minyak tradisional di Kecamatan Gabus Kabupaten Grobogan oleh Perhutani KPH Randublatung membuat warga resah. Alasan kegiatan penambangan dapat mencemari lingkungan juga tak terbukti. Hingga kini, puluhan penambang di Desa Bendoharjo bersataus sebagai pengangguran.


“Tuduhan Perhutani kalau penambangan minyak di Blok Bapo Gabus mencemari lingkungan hutan itu omong kosong,” tegas Camat Gabus Tatang Wahyu JPSP ketika ditemui di Kantornya beberapa waktu lalu. Untuk membuktikan, ia pun mengajak menyambangi hutan di Dusun Padas Desa Bendoharjo, Kecamatan Gabus, tempat sumur-sumur minyak peninggalan Belanda itu berada.

Sepanjang perjalanan menuju lokasi, pemandangan di desa yang terletak di wilyah kecamatan paling ujung timur Kabupaten Grobogan itu cukup indah. Perbukitan dengan tingkat kerapatan pepohonan yang masih terjaga, semakin membuat penasaran langkah kaki untuk terus menusyuri jalan.

Dua puluh menit berkendara motor menyusuri jalanan makadam (bebatuan, red), kami, akhirnya sampai dilokasi utama penambangan minyak. Tatang, yang saat itu ditemani mandor sumur minyak, dan beberapa perangkat desa setempat, lantas menunjukan sumur yang telah ditutup itu.

“Lihat saja, tanaman di sekitar masih bagus, jadi alasan Perhutani tidak berdasar,” katanya berapi-api. Di sumur nomor tiga itu terdapat sebuah lubang sumur minyak tua. Sumur itu sebenarnya masih aktif. Karena telah ditutup, penambang pun tak bisa mengangkat emas hitam yang terkandung di perut bumi Dusun Padas itu.

Sumur nomor tiga itu di kelilingi bak terbuat dari semen. Pada tiga sudutnya, terdapat tripod yang terbuat dari tiga batang kayu glugu (batang pohon kelapa, red), yang disusun sedemikian rupa. Ketiga ujung atas batang itu kemudian dikaitkan sebuah kawat yang digunakan untuk menarik minyak dari perut bumi.

Cara mengangkat minyak di sumur nomor tiga ini cukup unik. Kawat yang dikaitkan dari sumur ke ujung tripod itu, lantas dikaitkan pada sebuah truk tua yang difungsikan sebagai penarik otomotis. Roda belakang kanan truk sengaja dilepas, yang kemudian digunakan untuk mengikat kawat tadi.

Ketika mesin dinyalakan, kawat tadi secara otomatis akan tertarik. Sebab, putaran as roda truk itu menyebabkan kawat di dalam sumur tertarik ke atas. Dari cerita para penambang, truk itu dulunya juga digunakan di sumur nomor 12, yang terletak sekitar sepuluh meter dari sumur nomor tiga.

Karena sumur nomor 12 sudah tidak aktif, truk itu kemudian dipindahkan ke sumur nomor tiga. Terbayang bagaimana susahnya para penambang memindahkan truk itu. Pasalnya, jarak sumur nomor tiga dan 12 itu, dipisahkan jurang yang cukup dalam.

Minyak yang keluar dari sumur lantas dialirkan ke dua buah bak melalui pipa yang ditanam di dalam tanah. Dua bak yang terbuat dari semen itu dijadikan alat penyaring minyak mentah. Endapan air dan kotoran lainnya kemudan dalirkan ke sebuah pipa yang terletak agak jauh dari bak pertama tadi.

Pihak penambang sengaja membuat beberapa saringan pembuangan agar limbah yang keluar tak berbahaya bagi lingkungan sekitar. Sementara itu, minyak mentah murni hasil pengangkatan, kemudian ditempatkan pada sebuah tangki yang terletak bersebelahan dengan bak penyaringan tadi.

Begitulah, proses pengangkatan minyak dari perut bumi, melewati beberapa tahapan. Tahapan-tahapan ini, menurut Tatang, dilakukan guna mengurangi dampak pencemaran yang terjadi. Untuk meyakinkan Koran ini jika penambangan tak mencemari lingkungan, Tatang mengajak kami ke bak air limbah penambangan. “Lihat, tanaman disekitar masih tumbuh dengan bagus,” ujarnya.

Ia kemudian membandingkan rerumputan yang nampak kering kekuning-kuningan di sebelah tangki minyak hasil produksi. “Ini contoh jika tanaman rusak akibat limbah minyak, kering dan kemudian mati,” terangnya.

Tatang menyayangkan jika alasan utama pihak Perhutani RPH Padas PKPH Trembes KB KPH Randublatung menutup segala aktifitas penambangan di sumur tua itu, dikarenakan dapat memicu kerusakan lingkungan. Sebab, alasan itu tak terbukti di lapangan. “Kalau warga tak juga diperbolehkan menambang minyak, pasti Perhutani punya maksud lain atas sumur-sumur warisan Belanda ini,” katanya. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar