Kamis, 25 Desember 2008

Selamet Gunarso, 60 Tahun Berjualan Sate Srepeh




Sekolahkan Anak Hingga Perguruan Tinggi, Sedih Tak Ada Yang Mau Meneruskan

Berbeda dari sate ayam lainya, sate buatan Selamet Gunarso ini menggunakan bumbu kacang yang lebih encer. Warna bumbunya yang kemerahan, membuat satenya dinamai sate srepeh. Berikut kisah Selamet berjualan sate srepeh, hingga mampu menyekolahkan kelima anaknya ke perguruan tinggi.

Meski tak begitu luas, warung sate srepeh milik Selamet Gunarso itu selalu penuh pengunjung. Warung yang terletak di Jalan Wahidin no sembilan itu hanya menyediakan tiga bangku panjang untuk pengunjung. Pengunjung yang datang pun harus antri. Jika datang lebih dari Pukul 09.00 WIB, jangan harap anda bisa menikmati lezatnya sate itu.

Warung itu begitu sederhana. Bahkan, tak ada papan nama mencolok di depan warung. Sebagai penanda, Selamet hanya memasang sebuah kain yang tak begitu besar berwarna biru yang sudah mulai lusuh. Di kain itu, ditulis daftar menu masakan warungnya.

Setiap hari, ia membuka warungnya pada pukul 06.00 WIB. Hanya berselang tiga jam, bisa dipastikan semua satenya sudah ludes dibeli pengunjung. Sebagian besar pengunjung berasal dari Rembang. Namun, banyak juga orang dari luar Kabupaten penghasil garam itu yang mampir ke warungnya.

Uniknya, Selamet hanya menyediakan 500 tusuk sate setiap hari. Meski sedang ramai pengunjung, ia tak pernah menambah jumlah itu. Jika ada pengunjung yang datang ketika tusuk terakhir telah disajikan, dengan ramah ia mengatakan permohonan maaf karena dagangannya telah habis. “Tenang, besok kita buka lagi kok mas,” rajuknya dengan tersenyum ramah.

Sebagai pendamping sate srepeh, Selamet menyediakan nasi tahu lengkap dengan kecambah dan bumbu kacang. Kedua menu itu, sate srepeh dan nasi tahu, akan tambah nikmat jika dimakan dengan kerupuk udang yang digoreng dengan pasir.

Kelezatan sate srepeh ala Slamet sendiri telah diakui maestro kuliner nasional Bondan Winarno. “Mak Nyuuuus,” kata Bondan ketika menikmati sate itu beberapa waktu lalu. Selamet pun hanya tersenyum simpul.

Diwarung itu, istri dan satu orang karyawannya bernama Lasmi yang setiap hari melayani pengunjung. Kedua wanita berusia 60-an tahun itu selalu memakai kebaya. Maski demikian, gerakan kedua wanita itu tetap lincah.

Selamet mengaku telah 60 tahun lebih berjualan sate srepeh. Sebelum mangkal di Jalan Wahidin nomor sembilan itu, ia berdagang keliling. Diceritakan, aktifitasnya dimulai tepat Pukul 03.00 WIB. Ditemani istrinya, ia mengiris daging ayam dan menyiapkan bumbu yang lainnya.

Setelah semua siap, istrinyalah yang kemudian berdagang keliling. Dikatakan, istrinya hanya berjualan di Kecamatan Rembang Kota Saja. Itupun daganganya telah ludes sebelum siang hari. Banyak langganannya kala itu berasal dari etnis Tionghoa. “Mereka sangat gemar makan sate srepeh,” tuturnya

Pada tahun 1991, ia ditawari sebuah tempat yang hingga kini dipakainya untuk berjualan sate srepeh. Begitulah, warung sederhana miliknya itu terus dikenal setiap orang yang mampir ke Rembang.

Yang membuat lezat sate srepehnya adalah bumbu yang ia gunakan. Bumbu khas sate srepeh itu ia dapat dari almarhum ibunya. “Bumbunya warisan turun temurun, rahasia mas,” tegasnya.

Soal harga, ia tak pernah seenaknya menaikan harga per porsinya. Satu porsi, berisi sepuluh tusuk sate, dihargai Rp 8.000. Meski harga daging ayam melambung tinggi, ia mengaku tak pernah menaikan harga jual satenya itu.

Dari berjualan sate itu, Selamet akhirnya mampu menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi. “Yang penting anak bisa sekolah, meski di rumah tidak ada perabotan apa-apa,” katanya. Hingga saat ini, kelima anaknya telah mapan dan berkeluarga.

Sayangnya, kelima anaknya tidak ada yang tertarik meneruskan berjualan sate srepeh ini. Ia khawatir jika nantinya tidak ada yang meneruskan, bumbu warisan keluarganya itu akan hilang begitu saja. “Anak-anak saya tidak ada yang mau meneruskan, sibuk dengan pekerjaanya sendiri,” keluhnya.

Pernah seorang mengusulkan kepada selamet untuk mengangkat seorang anak yang khusus untuk diajari masakan khasnya itu. Namun dengan enteng ia menjawab, tidak bisa. Dia mengatakan belum ada keinginan untuk menularkan ilmunya itu ke orang lain. “Kalau ada yang mau resep rahasia ini, silakan siapkan uang yang banyak,” katanya sembari tertawa lebar.

1 komentar: