Rabu, 28 Januari 2009

Imlek Ditengah Putusnya Generasi

Hanya Lakukan Ritual Penjamasan Benda-benda Suci

Tak ada ornamen Imlek khusus yang disiapkan oleh Pengelola Klenteng Hok An Bio pada perayaan imlek tahun ini. Seperti tahun kemarin dan tahun-tahun sebelumnya, gegap-gempita imlek tak begitu terasa di satu-satunya klenteng di Purwodadi itu.

Satu kegiatan yang agak beda dari hari-hari biasanya, Pengelola Klenteng melakuakn ritual penjamasan (Pensucian, red) benda-benda suci di Klenteng itu. Menurut Parjoko, salah satu penjaga Klenteng, ritual penjamasan telah dilaksanakan seminggu sebelum perayaan Imlek tiba. “Ritual penjamasan telah berlangsung Selasa (20/1) lalu,” terangnya.

Selain ritual penjamasan, hampir tak ada kegiatan yang mencolok lainnya. “Memang Imlek tak dirayakan besar-besaran di sini,” bebernya. Saat imlek tiba, jelas pria yang mengaku memeluk Agama Budha ini, umat Konghucu di Purwodadi hanya melakukan sembahyang seperti biasanya.

Pihaknya memang tak menyiapkan ornamen khusus untuk perayaan imlek. Yang ada hanyalah dua bendera ucapan selamat tahun baru imlek di pintu masuk klenteng. “Itu pun yang memasang dari salah satu sponsor,” terangnya.

Ditambahkan, para pemeluk Tri Dharma (Taoisme, Budha dan Konghucu, red) biasanya melakuakn ritual pada waktu-waktu khusus. Disebutkan, saat pagi hari, satu dua pengunjung melakukan ritual sembahyang di Klentyeng itu.

Parjoko mengatakan, penganut Tri Dharma di Purwodadi saat ini tinggal sedikit. Banyak dari Etnis Tionghoa yang saat ini telah pindah agama lainnya. “Jadi sekarangs embahyangnya tak lagi ke Klenteng,” tuturnya.

Regenerasi Putus, Klenteng Tak Lagi Punya Kader

Perayaan tahun baru China atau yang populer disebut Imlek di Kabuapten Grobogan tak semeriah seperti di kota sekitarnya. Ini Dikarenakan jumlah umat Konghucu di Purwodadi sangat sedikit. Menurut Budi Susanto, pengelola Klenteng Tri Dharma Hok An Bio Purwodadi, saat ini penganut kepercayaan ini tinggal sekitar 30 umat saja.

Hal ini, menurut pria yang bernama asli Njoo Beng Swit karena pihaknya tak punya generasi penerus. “Kaderisasi di klenteng tak jalan,” katanya dengan nada rendah.

Diceritakan, putusnya kaderisasi ini mulai terlihat sejak tahun 1965. Saat pemberontakan G 30 S PKI meletus, etnis Tionghoa mendapat tekanan dari pemerintah. Segala kegiatan yang berbau ritual Konghucu dibatasi.

Etnis Tionghoa kemudian tak lagi diberikebebasan untuk menajalankan kegiatan agama. Termasuk juga mengembangkan kebudayaan seperti Tari Barongsai dan Liong. Bahkan, nama China pun harus ditanggalkan. Budi menambahkan, Warga Tionghoa pun kemudian dipaksa untuk pindah agama.

Mereka yang kala itu berjumlah ratusan pun kemudian banyak yang beralih memeluk agama lain. Diantaranya Kristen, Katolik dan Budha. Setelah, mereka beralih ke agama lain, Klenteng pun sepi pengunjung. Ritual keagamaan mandeg. Regenerasi pun putus tak ada yang meneruskan.

Budi menambahkan, karena banyak yang pindah agama, keluarga dan keturunan mereka pun lantas ikut ritual agama yang baru juga. “Jadi anak cucu mereka kemudian semakin jauh dari Klenteng,” tambahnya.

Di Grobogan sendiri, kata Budi, hanya ada empat Klenteng. Selain Klenteng Hok An Bio yang terletak di Kota Purwodadi, tiga klenteng lainnya terletak di Kuwu, Kecamatan Wirosari dan Gubug. “Jumlah umat di masing-masing Klenteng pun hanya sedikit,” tambahnya.

Sejak tahun 1965 itulah, tutur Budi, Klenteng Hok An Bio semakin kehilangan pamornya. Ritual agama hanya dilakukan oleh segelintir orang yang masih teguh memegang agamanya. Setiap Imlek datang, tambah Budi, pihaknya hanya merayakan kecil-kecilan. “Paling banter hanya sukuran makan-makan bersama naggota pengelola Klenteng,” terangnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar