Rabu, 14 Januari 2009

Pujonggo, 50 Tahun Menjadi Loper Koran Bersepeda

Foto Pujonggo (dua dari kiri) bersama sesama koleganya, loper bersepeda. foto diambil sekitar tahun 80 an.

Pujonggo (kanan) bersama salah seorang anak buahnya. berpose di depan Laris Agensi Purwodadi


Sebagai seorang loper Koran, Pujonggo memang berdedikasi tinggi. Betapa tidak, ia harus bangun pagi buta untuk mengurus dan mengirim ratusan eksemplar koran ke pelanggannya. Bahkan, untuk mengirim koran-korannya itu ia masih menggunakan sepeda ontel. Meski hidup Sederhana, kini ia telah memiliki sembilan anak buah. Berikut kisahnya.


Tetap Bersepeda Meski Telah Memiliki 9 Orang Anak Buah


Kayuhan kaki Pujongga pada pedal sepeda untonya masih terlihat kuat. Meski telah berusia lebih dari 70 tahun, ia masih tampak bugar. Dengan sepeda pemberian pamannya pada tahun 1957 silam itulah, pria lima anak delapan cucu ini setiap pagi mengantar koran-koran ke pelangganya.

Pujonggo dan sepeda tuanya itu seolah menjadi saksi sejarah perkoranan di Indonesa. Karat-karat di sepedanya sepertinya menjadi guratan dinamika pasang-surut koran di Indonesia. Dijelaskan, saat pertama kali menjadi loper koran pada tahun 1960 an, ia belum mempunyai banyak saingan seperti sekarang ini.

Kisah Pujonggo dan sepedanya pernah ditulis di harian ini edisi 14 Apri 2004. Saat itu, ia mencatatkan namanya sebagai satu-satunya loper koran bersepeda. Namun siapa sangka, setelah empat tahun berselang, usahanya itu tak surut. Bahkan ia kini telah memiliki sembilan orang anak buah.

Diceritakan, saat pertama kali memutuskan menjadi loper koran, Koran-koran seperti harian Sinar Indonesia, Suluh Marhaen, Duta Masyarakat dan Angkatan Bersenjata, masih merajai pangsa pasar koran di Purwodadi. “Saat itu, harga koran masih Rp 25 per eksemplarnya,” terangnya.

Ia mengatakan, Koran yang paling laku saat itu adalah Sinar Indonesia. Koran terbitan salah satu partai terlarang di Indonesia itu, mampu ia jual hingga 800 eksemplar setiap hari. “Tak ada yang mampu mengalahkan penjualan Sinar Indonesia,” terangnya. Sementara itu, Suluh Marhaen dan Angkatan bersenjata juga banyak diminati. “Masing masing sekitar 300 eksemplar terjual setiap harinya,” terangnya.

Koran jaman dulu masih sangat sederhana. “Tidak banyak gambar dan warna,” terangnya. Meski demikian, pembaca saat itu menurutnya sangat fanatik untuk membaca koran. Sayangnya, ia tak mempunyai satupun koleksi dari Koran-koran bersejarah itu.

Pasca pemberontakan PKI tahun 1966, Koran-koran yang disebutkan mulai menghilang. Ia pun sempat berhenti menjadi loper koran dan beralih profesi menjadi penarik becak. Baru sekita awal 70 an, ia kembali menekuni profesi awalnya sebagai loper Koran. Tentu saja dengan sepeda tuanya itu.

Setelah hampr 50 tahun berprofesi sebagai loper Koran, ia kemudian berinisiatif untuk menjadi agen. Setelah bertaya kanan-kiri, akhirnya ia mendapat kepercayaan menjadi agen salah satu koran besar Jawa Tengah.

Setiap hari, ia dijatah 340 koran Suara Merdeka dan beberapa eksemplar koran harian lainnya. Sadar akan keterbatasan tenaganya, ia pun kemudian merekrut sembilan orang untuk dijadikan karyawannya. Meski telah memiliki anak buah, ia tak mau melepas pekerjaannya sebagai loper koran. “Jadi tiap pagi masih kelilingan naik sepeda mas,” terangnya.

Diakuinya, ada semacam kepuasan tersendiri ketika ia mengayuh sepeda mengantar koran ke pelanggannya. “Seperti jadi orang penting saja, tiap pagi ditunggu kedatangannya,” katanya sembari tertawa kecil. Terlebih, keuntungan yang didapat juga tak bisa dianggap remeh.

Tanpa menyebut nominal pasti, ia mengatakan dari menjual koran itulah, ia bias menyekolahkan kelima anaknya hingga tamat SMA. “Sebenarnya, pekerjaan apapun jika ditekuni akan banyak memberi manfaat,” katanya bijak.

Meski telah memiliki sepeda motor, Pujonggo mengaku tak pernah menggunakan motornya untuk mengantarkan Koran. Delapan orang anak buahnya mengantar Koran dengan menggunakan sepeda motor, sedangkan satu orang lainnya megikuti jejaknya menjadi loper Koran bersepeda. Meski menggunakan sepeda, ia mengaku masih berani bersaing dengan loper-loper lainnya. “Koran kiriman saya tak pernah telat, kecuali memang telat dari percetakannya,” katanya.

Jika kiriman koran telat, ia akan mengajak anak kelimanya, Efendi setiawan untuk mengantar korannya. Tentu saja pakai motor agar bisa cepat terkirim. Namun itu pun tak terlalu sering. “Paling banter dua atau tiga kali setiap bulannya,” terangnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar